Catatan Herry | Pagi itu seperti biasa saya berangkat pagi setelah subuh dari rumah, ke tempat penyimpanan motor. Walau sering terlambat, kali ini saya datang lebih awal ke tempat menunggu bus antar jemput yang membawa saya ke kantor.
Seperti biasa saya duduk bersama rekan-rekan sambil menunggu jemputan. Tetapi karena saya datang lebih awal, munculah seorang bocah lelaki yang seperti biasa menawarkan koran kepada semua penduduk shelter.
”Koran, koran!”begitu teriak bocah laki-laki tersebut menawarkan koran kepada kami. “Koran, Bang!” Dia menawariku untuk membeli koran. Tangan mungilnya dengan cekatan memilih koran yang kuminta diantara tumpukan koran dagangannya.
”Ini Bang, korannya.” Dia memberi koran yang aku minta kepadanya.“Nih ada kembaliannya enggak?”kataku sambil menyodorkan uang Rp 50.000 kepadanya.“Beres Bang, pasti ada.” segera dikeluarkan kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor. “Wah pagi-pagi uangnya udah banyak ya,” kataku kepada bocah tersebut.
“Iya Bang, rezeki saya lagi lancar” katanya sambil bersyukur dan tersenyum senang. Dan setelah itu dia pun berlalu menawarkan Koran kepada para penghuni shelter lainnya. Karena masih terlalu pagi dan masih terlalu lama jemputanku datang, maka saya menyempatkan diri membaca koran yang tadi saya beli pada bocah tukang koran tersebut.
Tanpa sadar saya memperhatikan betapa gigih seorang bocah tukang koran tersebut mencari uang, dengan menawarkan dagangannya kepada semua orang yang datang dan pergi silih berganti. Sepintas tampak keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam usia belianya harus berjuang memperoleh uangsecara halal dan sebagai pekerja keras.
”Koran, Mbak, ada tabloid, ada berita selebritisnya nih Mbak, atau ini, ada kabar artis bercerai,” katanya bagai seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan koran kepada seorang wanita setengah baya yang pada akhirnya menyerah dan membeli satu tabloid yang disebut sang bocah tersebut.
Sambil memperhatikan terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada bocah tersebut, dan memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya tampak senyum ceria yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak marah. Tidak terdapat sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya, walaupun terkadang orang yang ditawarinya tidak membeli korannya. Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia terduduk disampingku,
“Kamu enggak sekolah, Dik?” tanyaku kepadanya.“Enggak, Bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi,” katanya.“Enggak ada biaya, Dik?"tanyaku menyelidik.“Bukan Bang, walau saya tukang koran, saya punya cita-cita.” jawabnya.“Maksudnya, kan dengan sekolah kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih mudah,” kataku menjawab.
“Aku sering baca koran, Bang, banyak orang yang telah sekolah tinggi bahkan sarjana tidak bekerja alias nganggur. Mending saya walau sekolah tidak tinggi tapi saya punya penghasilan sendiri, Bang,”katanya berusaha menjelaskan kepadaku.
“Abangku tidak sekolah bisa buka agen koran. Penghasilan sebulannya bisa 3-4 juta, Bang. Saya baca di koran, gaji pegawai honorer cuma 700 ribu, jadi buat apa saya sekolah, Bang,”tanyanya kepadaku.
Saya mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban bocah kecil tersebut dengan pemikiran yang tajam, dan sebuah kritik yang dalam buat saya yang seorang sarjana. Dalam hati saya membenarkan perkataan anak tersebut, Saya pun tersenyum mendengar jawaban anak tersebut.
Kemudian bus jemputan saya pun tiba dan saya meninggalkan bocah tersebut tanpa bisa menjawab pertanyaanya, Tapi pernyataan bocah penjual koran tersebut menyadarkan saya tentang rejeki dan tujuandari bersekolah, yang saat ini saya mungkin kalah dengan bocah kecil tersebut, walau saya seorang yang mempunyai penghasilan dan mempunyai suatu jabatan saya hanyalah manusia gajian, saya hanyaseorang buruh.
Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa menjadi majikan untuk dirinya sendiri. Sungguh hebat pemikiran lugu bocah penjual koran tersebut. pembelajaran yang menarik dari seorang bocah kecil yang setiap hari kutemui. Rezeki Tuhan sungguh tidak terbatas, tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha menggapainya.
Pelajaran dapat diperoleh tidak hanya di pendidikan formal, Dunia pun banyak memberi pelajaran untuk kita.
Sumber : Rekan Sekerja Penulis
0 komentar on Anak Kecil Penjual Koran Yang Bijak :
Silakan berkomentar . . .